13341
Hits

Quo Vadis BPPT Di Era Ekonomi Inovasi

Administrator
21 Aug 2021
Opini

Kepala BPPT - Hammam Riza 

Hari ini, 21 Agustus 2021 adalah Hari Ulang Tahun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang ke-43 dan merupakan saat yang tepat untuk melakukan refleksi dengan kerendahan hati dalam upaya mencari peta jalan ke masa depan, meraih teknologi maju untuk Indonesia 100 tahun merdeka pada tahun 2045.

Mampukah BPPT terus berinovasi tiada henti? Bisakah BPPT sebagai lembaga kaji terap teknologi yang berkontribusi untuk negeri dapat terus mengawal transformasi ekonomi berbasis inovasi, mencapai visi NKRI yang berdaulat, mandiri, maju dan berdaya saing?

Sejarah dan Kiprah BPPT

Berbicara mengenai lembaga pengkajian dan penerapan teknologi, kurang rasanya jika kita tidak membahas mendiang Prof. B. J. Habibie selaku founding father dari BPPT. Berdirinya BPPT tidak terlepas dari peran Beliau, seorang tokoh teknokrat yang bukan saja terkenal di kalangan nasional namun juga mendunia.

Saya selalu teringat pernyataan beliau ketika menjelaskan peran BPPT dalam menghela pertumbuhan ekonomi nasional. Beliau menyampaikan BPPT adalah mikro ekonomi dan mikro ekonomi itu tidak bisa dipisahkan dengan teknologi, sedangkan Bappenas merupakan makro ekonomi. Habibie kemudian menyampaikan makro ekonomi bagaikan nge-rem, agar mikro ekonomi itu lebih terarah untuk bangsa Indonesia. Rem, gas, dan sopirnya itu adalah Presiden RI.  (Diambil dari wawancara BPPT dengan Habibie untuk penulisan buku Lima Windu Membangun Negeri: Gelombang Transformasi Teknologi Nasional pada tahun 2018) 

Pernyataan dari mendiang Prof. B.J. Habibie di atas merepresentasikan bagaimana cara Beliau mewujudkan gagasan besarnya untuk Indonesia, yakni mengejar peradaban teknologi untuk kemandirian bangsa.

Ide untuk mendirikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga pengkajian dan penerapan teknologi, berawal dari perbincangan Presiden Soeharto bersama Habibie. Soeharto mengalami kondisi dilematis, karena setiap departemen memiliki konsultannya masing-masing, dan kebanyakan tenaga kerja asing. Hasil pekerjaan ketika bagus akan diklaim sebagai kerja keras konsultan asing, dan jika sebaliknya maka mereka akan menyalahkan negara kita yang tidak melaksanakan rekomendasi mereka.

Habibie kala itu menjawab dengan singkat, “kita konsul sendiri Pak, kita buat suatu badan yang mampu mengkaji dan mengembangkan teknologi”. Mendengar jawaban dan keyakinan dari Habibie, Soeharto pun langsung menugaskan Beliau untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) serta infrastruktur untuk mendirikan badan tersebut. Pada tanggal  21 Agustus 1978, badan tersebut pun akhirnya dibentuk dengan nama Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi, serta menunjuk Habibie sebagai ketuanya.

43 tahun berselang menjadi momentum yang tepat bagi kami untuk meng-align kembali cita-cita luhur didirikannya BPPT. BPPT dibutuhkan sebagai satu wahana yang mengkaji masalah teknologi secara mendalam dan menyeluruh agar kehadiran dan penerapannya benar-benar mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa, khususnya dalam rangka mengembangkan industri dan produksi nasional yang dapat memperkuat ketahanan nasional.

BPPT itu tugasnya mengimbangi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Bila Bappenas merancang kebijakan makro, BPPT memastikan kebijakan tersebut terealisasi dengan mengawalnya melalui kajian kebijakan dan penerapan teknologinya.

Demikian strategisnya peran dan keberadaan BPPT yang dari awal mula didirikan sudah didesain dengan tugas dan fungsi yang sangat mulia, hingga saat ini, 43 Tahun BPPT berkiprah, berinovasi tiada henti, berbakti kepada negeri.

Sudah banyak sumbangsih yang diberikan, mulai dari capaian teknologi untuk ketahanan pangan sampai dengan kedaulatan industri pertahanan. Bahkan dalam situasi yang sangat mendesak dan diperlukan kecepatan yang luar biasa, BPPT mampu melahirkan karya inovasi untuk penanganan Pandemi Covid-19.

Dalam waktu kurang dari 3 bulan sejak Maret 2020, BPPT bersama ekosistem inovasi Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk Penanganan Covid-19 (TFRIC-19) mampu menghasilkan produk yang sangat dibutuhkan untuk 3T (testing, tracing dan treatment). Presiden RI Joko Widodo pun menjadi saksi peluncuran produk mulai dari rapid test antibodi, reagen PCR, mobile lab BSL-2, hingga ventilator. Tidak terhitung produk inovasi karya BPPT yang dihasilkan selama kurun waktu 4 dekade keberadaannya.

Inovasi menjadi kata kunci bagi kiprah BPPT untuk selalu menjadi solusi bagi pembangunan nasional, meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa. Inovasi teknologi itu merupakan unsur penting dalam pertumbuhan ekonomi.

Sudah sejak lama Romer (1990), Eaton dan Kortum (1995), Rosenberg (2004), Aghion dan Akcigit (2015), Soerawidjaja (2017), dan banyak pakar ekonomi pertumbuhan menyatakan bahwa Inovasi teknologi adalah mesin/motor pertumbuhan ekonomi. Artinya BPPT memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Selain menghasilkan inovasi, BPPT memainkan peran sebagai pengawal di garda terdepan bagi teknologi kunci yang akan digunakan di Indonesia. Tugas ini diemban melalui akuisisi teknologi, sehingga BPPT dikenal sebagai technology clearing house.

BPPT juga menjadi pusat pelayanan teknologi meliputi rekomendasi, advokasi, audit teknologi, alih teknologi, konsultasi, pengujian, hingga pilot project, yang kesemuanya menjalankan fungsi sebagai pusat kecerdasan teknologi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Inovasi dan Ekonomi

Bicara ekonomi sangat erat hubungannya dengan inovasi, terlebih jika Indonesia ingin mengejar ketertinggalan dan menjadi lima besar negara dengan kekuatan ekonomi di dunia, maka kita harus selalu mengaitkannya dengan aspek inovasi teknologi. 

Mengacu pada Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi 8% pertahun dibutuhkan untuk menjadi negara maju. Untuk mempercepat hal tersebut, maka porsi sektor industri manufaktur di produk domestik bruto (PDB) harus ditingkatkan.

Peningkatan sektor industri manufaktur hanya bisa dilakukan dengan memperkuat dan memperbanyak pasokan inovasi pada industri. Inovasi meningkatkan technology readiness level (TRL), manufacturing readiness level (MRL) dan pada akhirnya meningkatkan total factor productivity (TFP) yang menjadi ciri ekonomi berbasis inovasi.

Artinya jika ingin pertumbuhan ekonomi melompat dengan capaian per tahun di atas 8%, maka pembangunan nasional harus dilakukan dengan pertumbuhan ekonomi berbasis pada inovasi.

Belajar dari apa yang dilakukan Korea, yang sama-sama dengan Indonesia terlepas dari pendudukan Jepang pada tahun 1945. Saat ini Indonesia jauh tertinggal dari Korea dalam perekonomian. Pertumbuhan ekonomi Korea mulai meningkat pada tahun 1962, dengan mengusung kebijakan teknologi from imitation to innovation.

Dengan kebijakan tersebut, ekonomi Korea telah tumbuh menjadi salah satu yang tercepat di dunia. Transformasi ekonomi Korea, dalam waktu kurang dari 30 tahun, mengalami kemajuan pesat, dari sebuah negara pertanian menjadi negara industri. Indeks daya saing Korea jauh meninggalkan Indonesia, Korea di peringkat 13 sedangkan Indonesia bertengger di urutan 50 (WEF, 2020).

Memperhatikan pemikiran para pakar dan belajar dari pengalaman Korea, maka ada dua hal penting yang harus ada dalam upaya menciptakan lompatan ekonomi, yaitu perlu adanya kelembagaan yang menghasilkan inovasi dan perlunya penguatan regulasi terkait IPTEK. 

Menurut pendapat saya, saat ini pun Indonesia telah memiliki kedua faktor yang dibutuhkan untuk menjadi negara seperti Korea. Pertama, kehadiran BPPT sebagai lembaga yang menghasilkan inovasi. Kedua, diberlakukannya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU SISNAS IPTEK), yang dalam desain pembuatannya ditujukan untuk memperkuat peran IPTEK dalam pembangunan nasional.

BPPT dan Implementasi Fasih UU SISNAS IPTEK

UU SISNAS IPTEK dirancang berlandaskan penguatan Kelembagaan yang menyelenggarakan IPTEK (Kelembagaan IPTEK) dengan orientasi keluaran Inovasi yang dapat langsung berkontribusi pada pembangunan nasional.

Undang-undang ini secara tegas memposisikan adanya Kelembagaan IPTEK dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang memiliki peran fungsi dan kewenangannya masing-masing.

Kelembagaan IPTEK (tercantum dalam Pasal 42) dan BRIN (tercantum dalam Pasal 48) merupakan satu ekosistem invensi dan inovasi yang ada dalam Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SISNAS IPTEK).

Keberadaan Kelembagaan IPTEK yang terdiri dari 5 unsur, haruslah exist dalam SISNAS IPTEK. Fungsi dan kewenangan Kelembagaan IPTEK masing-masing ditegaskan dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 47 UU SISNAS IPTEK.

Keberadaan BRIN dalam SISNAS IPTEK juga tertuang dalam Pasal 48, dimana tugasnya hanya untuk mengarahkan dan menyinergikan. Melakukan orkestrasi penyelenggaraan IPTEK yang dilakukan oleh para Kelembagaan IPTEK.

Lebih lanjut, desain SISNAS IPTEK, yang memposisikan dua entitas penting, jika mampu berjalan sesuai dengan pengaturan yang ada, maka akan memberi manfaat yang besar terhadap peran IPTEK bagi pembangunan nasional.

Sesuai dengan marwah disahkannya UU SISNAS IPTEK, menjadi landasan ilmiah pembangunan nasional.

BPPT sebagai salah satu unsur Kelembagaan IPTEK sangatlah siap dengan peran dan posisi yang telah didesain dalam pengaturan SISNAS IPTEK. BPPT telah memainkan peran sesuai apa yang diatur dalam undang-undang tersebut. Bahkan secara khusus harapan peran yang akan dimainkan BPPT juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat memberikan arahan pada Rapat Kerja Nasional BPPT, 8 Maret 2021.

Ketiga arahan tersebut diantaranya BPPT harus berburu inovasi dan teknologi; BPPT harus menjadi lembaga akuisisi teknologi maju dari manapun; BPPT harus menjadi Pusat Kecerdasan Teknologi di Indonesia.

Kami di BPPT siap menjalankan arahan Presiden Jokowi, dan arahan tersebut sebenarnya sudah menjadi karakteristik serta ciri khas/DNA BPPT sejak saat didirikan. Bekal pengalaman selama 43 tahun melakukan pengkajian dan penerapan teknologi, struktur organisasi dan kapasitas SDM yang semakin berkembang sesuai perkembangan zaman dirasakan sudah lebih dari cukup untuk menjalankan tiga arahan Presiden dalam rangka mendukung percepatan dan lompatan pertumbuhan ekonomi.

Dengan begitu jika keberadaan BPPT tetap dipertahankan sesuai dengan UU SISNAS IPTEK, maka BPPT akan berperan membantu BRIN dalam upaya bersama pencapaian lompatan pertumbuhan ekonomi, melalui penguasaan teknologi, pendayagunaan teknologi dan menjamin keberhasilan penerapannya.

Kerjasama dalam satu kesatuan sistem, antara BPPT sebagai salah satu unsur Kelembagaan IPTEK dan BRIN sebagai dirigen, akan memaksimalkan hasil penyelenggaraan IPTEK di Indonesia.

Namun jika keliru dalam penafsiran kata integrasi, dengan menerjemahkan sebagai peleburan, maka akan terjadi ketidakpastian capaian dan pasokan inovasi yang artinya terjadi pembekuan peran IPTEK sehingga akan berakibat terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi dan bahkan kemunduran. Quo Vadis BPPT?