Dalam rangka berbagi cerita dan pengalaman dari para diaspora di beberapa negara, Pusat Riset Elektronik (PRE) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan SISTEM Vol. 2 PRE dengan tema Kelana Bahagia Diaspora di Negeri Rantau (18/8)
Dalam sambutannya Yusuf Nur Wijayanto Kepala Pusat Riset Elektronik (PRE) BRIN mengatakan bahwa ini merupakan kesempatan yang bagus bagi para periset untuk berbagi pengalaman, riset kolaborasi yang mungkin dilakukan dan melihat peluang-peluang untuk melanjutkan studi.
Pada kesempatan pertama Arymurti Santosa seorang periset yang saat ini sedang menempuh Pendidikan di University College London berbagi pengalamannya sebagai pelajar di UK dan risetnya tentang Integrated Photonics.
Arymurti melanjutkan studinya melalui CDT Programmes. Centres for Doctoral Training (CDTs) yaitu sebuah kelompok organisasi riset (universitas dan mitra industri) riset dan kepakaran (expertise) untuk mendukung dan membimbing mahasiswa PhD.
Keuntungan mengikuti CDT Programmes yaitu mengikuti training selama satu tahun untuk gelar MRes (A Master of Research) dan lanjut tiga tahun untuk PhD riset termasuk kelompok penelitian dan universitas.
Proyek riset MRes yang dikerjakan merupakan dua mini proyek yaitu Integrated Photonics for Automotive LIDAR dan Mach-Zehnder Modulator Characterization of InP & Thin-Film LiNbO3 Photonic Integrated Circuit.
Menurutnya biaya hidup di London cukup tinggi. Terutama jika menetap di daerah Zona 1 di tengah kota karena berada dekat dengan lokasi kampus.
“Sebenarnya ada pilihan biaya sewa tempat tinggal di zona 2 atau 3 yang jaraknya agak jauh dari lokasi kampus ,namun dengan biaya yang hampir sama dengan zona1 bisa memperoleh tempat tinggal yang lebih layak dan akses ke kampus juga tidak sulit karena transportasi publik disana sudah bagus” jelasnya
Biaya hidup di London cukup tinggi, untuk makan di restoran kecil biayanya hampir 10 pound, kalau di rupiahkan sekitar 200 ribu untuk sekali makan, sehingga lebih baik masak sendiri” terangnya
Selain itu, banyak komunitas sosial yang bisa diikuti diantaranya Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) London/UK, program circle, campus society, dan accommodation circle.
Lebih lanjut Arymurti menjelaskan bahwa teman-teman bisa mengunjungi museum secara gratis, banyak taman untuk bersantai dan banyak tempat-tempat yang menarik.
Reyhan Ramadhan mahasiswa program master di Tokyo Institute of Technology berbagi pengalamannya hidup sebagai pelajar di Jepang dan risetnya tentang Micoelectronics for Biomedical and IoT.
Tokyo Institute of Technology atau biasa disebut Tokuda merupakan salah satu institut teknik ternama di Jepang dengan 10.500 mahasiswa di 1200 fakultas. Di Tokuda bidang yang terbesar adalah elektronika dan industrinya, yang dalam sejarahnya memang dibangun untuk mendukung perkembangan industri di Jepang, dan bidang yang sedang berkembang saat ini adalah bioteknologi.
Menurut Reyhan, riset yang dilakukannya di Tokuda Laboratory diantaranya analog and mixed-signal microelectronics design untuk biomedical dan teknologi IoT/IoE yang terdiri dari Optical power transfer technology for ultra-small nodes dan CMOS based optoelectronic neural interface devices.
Lebih lanjut Reyhan menjelaskan bahwa penelitian yang sedang dikerjakannya yaitu implantable imaging device and neural stimulator. Tujuan dari penelitian ini untuk diterapkan pada hewan model, misalnya observasi tindakan hewan dan aktivitas otaknya jika diberi stimulus-stimulus.
Riset lain yang dia kerjakan yaitu pemantauan kadar glukosa untuk penderita diabetes dan optical ID transmission menggunakan optical power transfer.
Selain berbagi cerita mengenai risetnya, Reyhan juga berbagi kisah mengenai kehidupannya di Tokyo sebagai pelajar. Menurutnya budaya riset di universitas di Jepang tergantung dari kultur laboratoriumnya dan profesornya.
“memang ada profesor yang mengharuskan bekerja 6 hari seminggu, tetapi belakangan cukup banyak juga profesor yang memberikan kebebasan selama menghasilkan (result oriented)” terangnya
“oleh sebab itu, bagi yang ingin kuliah di jepang sangat perlu diperhatikan kultur lab dan profesornya” tegasnya
Selain itu, menurutnya mahasiswa Tokyo cenderung private atau tertutup sehingga kita yang perlu melakukan pendekatan terlebih dahulu. Untuk komunitas mahasiswa internasional, PPI di Tokudai termasuk sangat besar.
“Tokuda bisa dibilang kampus di Jepang yang paling International student friendly” terangnya
Berdasarkan pengalamannya, Reyhan merasa Tokyo termasuk kota yang sangat aman dan nyaman dengan transportasi publik yang sangat baik, tetapi disisi lain biaya hidupnya relatif tinggi bahkan di dunia dan birokrasi di Jepang terkenal kompleks.
Reyhan juga berbagi tips bagi yang ingin melanjutkan studi ke Jepang setidaknya ada dua hal yang harus disiapkan diantaranya menyiapkan akses plan (rencana studi) yang dikoreksi oleh mereka yang berpengalaman dan sertifikat bahasa inggris. Lebih lanjut Reyhan menjelaskan sumber pendanaan selain dari dalam negeri seperti LPDP juga dapat diperoleh melalui beasiswa MEXT yang diselenggarakan oleh Kemenristeknya Jepang, beasiswa pemerintah jepang dan private scholarship.
Muhammad Ihsan Al Hafiz saat ini sedang menempuh pendidikan master di KTH Royal Institute of Technology, Swedia.
KTH Royal Institute of Technology merupakan salah satu kampus public dimana universitas Teknik nomor satu di Swedia dan salah satu yang terbaik di Eropa dimana bidang terbaiknya di elektronika, arsitektur dan beberapa bidang lain.
Hafiz berbagi pengalamannya untuk mereka yang ingin melanjutkan studinya ke Swedia. Pendaftaran dilakukan secara terpusat melalui University Admission (universityadmission.se) dan dapat memilih empat program studi di berbagai universitas dengan satu kali membayar application fee. Setelah itu, tinggal unggah dokumen yang dibutuhkan, tidak ada wawancara dan setelah itu pengumuman.
Pendanaan dapat melalui beasiswa LPDP, pemerintah Swedia (SISGP) dan ada beberapa lagi. Menurutnya untuk mendapatkan beasiswa syarat utama adalah bahasa inggris. Kemudian daftar besiswa sebanyak mungkin. Semakin banyak mencoba, aplikasi kita semakin bagus.
“Komunitas mahasiswa Indonesia di Swedia tidak terlalu banyak, oleh sebab itu kita harus bergaul dan mencari teman” terang Hafiz
Pelajari dan nikmati lingkungan sekitar. Di Swedia matahari hanya ada selama setengah tahun dan di saat musim dingin suhu bisa mencapai minus 20 derajat. Kunjungi museum-museum, pelajari sejarah kota agar kita bisa mengetahui budaya sekitar.
“Di Swedia ada budaya lagom artinya tidak terlalu banyak, tidak terlalu sedikit, kalo tepat waktu itu hal normal, justru kalo sampe lembur malah aneh” jelasnya
Di tahun pertama sebagai master student Hafiz tidak melakukan riset, di semester akhir atau tahun kedua baru melakukan riset.
Selain berbagi kisah sebagai master student di Swedia, Hafiz juga berbagi mengenai penelitian di Embedded System KTH (Silago) yang terinspirasi dari lego. (ARFhmsS2/ed LH)