Permasalahan terkait penurunan tanah (land subsidence) akibat tekanan lingkungan dari pembangunan perkotaan terjadi di beberapa kota besar di Asia, termasuk Jakarta. Biasanya fenomena penurunan muka tanah banyak disebabkan kondisi alam seperti pergerakan struktur geologi ataupun aktivitas manusia. Di DKI Jakarta sendiri, aktivitas manusia menjadi penyebab utama dari permasalahan penurunan muka tanah yang terjadi.
Dari berbagai hasil kajian studi, terdapat empat jenis penurunan muka tanah yang terjadi di Jakarta. Pertama akibat ekstraksi air tanah, kedua akibat beban konstruksi, ketiga akibat konsolidasi alami tanah aluvium dan terakhir penurunan tanah tektonik, kataPeneliti Kebencanaan Pusat Teknologi Reduksi Resiko Bencana (PTRRB) BPPT Joko Widodo, saat di wawancarai DAI TV di BPPT (07/04).
Terkait hal tersebut, lanjut Joko, tim Indonesian Network for Disaster Information (INDI) 4.0 BPPT telah melakukan analisis dengan menggunakan metode Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) yang berdasarkan data satelit Radar Sentinel 1A untuk melihat laju penurunan tanah di Jakarta.
Alhasil, analisis data InSAR yang direkam sejak 20 Maret – 22 Oktober 2019 memperlihatkan bahwa laju maksimum penurunan tanah mencapai 6 cm per tahun, sebutnya.
Hal yang tidak kalah pentingnya, menurut Joko Widodo, Pemerintah Kota Jakarta perlu melakukan monitoring amblesan secara berkala dengan menggunakan teknologi yang tepat. “Teknologi InSAR adalah salah satu pilihan teknologi yang tepat untuk memantau kondisi ini, dimana INDI BPPT telah mengaplikasikan selama ini”, pungkasnya.
Sebagai informasi, pengembangan INDI 4.0 di PTRRB BPPT ini digagas guna menjadi pusat pengkajian dan penerapan teknologi multi bencana yang akan fokus pada analisis data-data kebencanaan dalam rangka memperkuat mitigasi bencana, baik bencana geologi maupun hidrometeorologi. (Humas BPPT)