Salah satu pakar kebencanaan BPPT, Udrekh, menyebut seperti kebanyakan peralatan bencana lainnya, LEWS harus memiliki kriteria tinggi agar dapat berfungsi dalam kondisi cuaca apapun. “Teknologinya sudah dapat dikuasai bangsa Indonesia, akan tetapi knowledge nya agar berfungsi secara tepat masih terus dikaji. Warning yang keluar akan berbeda tresholdnya antara satu sama lain. Oleh karena itu upaya penyempurnaan agar teknologi ini dapat memberikan peringatan secara tepat membutuhkan pengamatan di lapangan,” papar Perekayasa Pusat Teknologi Reduksi dan Risiko Bencana (PTRRB BPPT) melalui pesan instan di Jakarta, (21/06).
Mengenai cara kerja nya kata Udrekh, dengan memanfaatkan parameter yang diukur. Besarnya curah hujan yang diukur dari penakar hujan, merupakan indikasi awal adanya ancaman. Jika curah hujan mencapai sebuah nilai ambang yang sudah dientukan, maka alat akan memberikan peringatan dini. Apalagi jika sensor kelembaban tanah juga menunjukkan nilai kelembaban melebihi batas ambang, maka akan ada peringatan untuk evakuasi. Dua sensor yang lain, pada umumya akan bekerja saat sudah mulai terjadi gerakan tanah.
Saat ini dalam pengembangan LEWS BPPT terus bersinergi dengan ITB dan LIPI. “Saat ini LEWS sinergi baru dimanfaatkan oleh BNPB di 3 kabupaten. Majalengka, Tasikmalaya dan Garut. Itu juga hanya 7 titik saja. Padahal daerah rawan longsor di Indonesia terbilang banyak,” mirisnya.
Untuk itu Udrekh juga berharap peringatan dini longsor atau inovasi LEWS dapat dimanfaatkan lebih luas. “Ini teknologi yang menantang dan perlu diberikan kesempatan kepada anak bangsa untuk membangunnya. Tidak ada sesuatu yang langsung jadi, butuh dukungan agar penguasaan sebuah teknologi menjadi matang agar teknologi anak bangsa bisa berdaulat di negeri sendiri,” pungkasnya. (Humas/HMP)