Indonesia memiliki komitmen untuk ikut andil di dalam mencapai netral karbon atau net zero emission dunia pada tahun 2050. komitmen ini diperkuat dengan perumusan sejumlah kebijakan, khususnya di sektor energi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut Indonesia sendiri memiliki target penurunan emisi atau mencapai netralitas karbon pada 2060 atau lebih awal. Namun demikian, dia menyebut Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan dalam upaya mencapai target netral karbon ini, antara lain infrastruktur energi, ketersediaan teknologi, hingga masalah dana.
Menghadapi tantangan teknologi tersebut, Periset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Eniya L. Dewi memberikan alternatif pembangkit energi baru terbarukan (EBT) menggunakan fuel cell berbahan bakar nabati untuk pembangkit listrik. Dirinya memberikan paaparan Bio based Renewable Hydrogen Energy dalam Lokakarya Kebutuhan Riset Untuk Pembangunan Industri Bioenergi Indonesia yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM RI, Bandung Giri Gahana, Sumedang, Jumat (18/03).
“Kementerian ESDM telah mengeluarkan road map-nya, pemanfaatan EBT semakin diperbanyak, mulai dari pembangkit listrik tenaga surya, bioenergi, hingga nuklir. Kita juga harus memperhatikan permasalahan dan peran energy storage,” ujarnya.
Skenario transisi energi menurut Eniya menjadi sebuah keharusan, dimana skema desentralisasi energi, isu prioritas, lompatan fokus teknologi, hingga kerjasama teknologi dengan asing menjadi sebuah keharusan.
Transisi energi bersih khususnya berbasis hidrogen mampu menghasilkan tiga jenis, diantaranya green hydrogen, hydrogen, dan brown hydrogen. Ketiganya pun memerlukan storage-nya tertentu dan dipergunakan untuk berbagai kebutuhan.
Lebih lanjut dia mengutarakan hidrogen dapat dihasilkan dari beberapa sumber dan metode, baik dari energi fosil dan EBT. Untuk pengolahan EBT terdapat dua metode, yakni proses biomassa dan water splitting.
“Saat ini harga hidrogen masih berkisar 6 US Dollar per kilonya. Apabila demand-nya sudah tinggi, saya yakin harga hidrogen akan turun hingga 1 US Dollar per kilonya,” terang Eniya.
Produksi hidrogen termurah saat ini diperoleh dari proses gasifikasi biomassa. Sedangkan proses fermentasi menghasilkan emisi yang paling rendah. Kedua proses tersebut mempunyai biaya produksi berkisar 1-2 US Dollar per kilo.
BRIN saat ini bekerja sama dengan Taiwan, Jepang, Itali, dan Perancis melakukan riset mengubah limbah (waste) menjadi hidrogen. Produk buangan industri minuman, palm oil mill effluent (POME), gliserol, dan molasses diberikan microbes untuk mampu menghasilkan hidrogen.
Eniya mengungkapkan, bersama timnya, POME mampu menghasilkan hidrogen sebanyak 40L per batch. Dengan memasukan mikroba enterobacter NDH45 ke dalamnya.
“BRIN juga telah bekerjasama dengan Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) Cikasungka milik PTPN VIII di Malimping untuk melakukan produksi hidrogen dari limbah kelapa sawit. Produksi saat ini telah mencapai 30 ton per jamnya,” terangnya.
Di akhir, Prof. Eniya menerangkan skema desentralisasi energi khususnya hidrogen. Ia memberikan lima alternatif bahan baku yang bisa diolah menjadi hidrogen, diantaranya cangkang biji coklat, semua zat mengandung gula, POME, sagu, hingga alga.
“Pemilihan kelima bahan baku ini dikarenakan faktor ketersediaan di masing-masing daerah. Sehingga selain mencari bahan baku yang paling baik, tetapi kami juga turut memanfaatkan sumber daya yang ada,” ujarnya.
Kelima bahan baku tersebut akan diolah menjadi hidrogen kemudian dilakukan purifikasi sebelum disimpan di storage. Salah satu pemanfaatan hasil penyimpanan, hidrogen bisa digunakan untuk keperluan transportasi yang dimana nantinya turut menurunkan emisi dari sektor ini.
“Sejak tahun 2011 kami di BRIN sudah mengembangkan kendaraan fuel cell berbasis hidrogen. Saya yakin dengan kerja sama semua pihak, hidrogen akan menjadi salah satu sumber EBT yang potensial dan memenuhi target karbon netral di tahun 2050,” tutup Eniya. (HumasBRIN-SAS)